Kamis, 19 Juli 2012

Sebab Terbukanya Rezeki


Sahabat se-Iman. Dalam Kehidupan sehari-hari,seringkali kita dihadapkan dengan Realita kehidupan yang membuat kita hampir putus asa,karena sulitnya memenuhi kebutuhan Hidup. Ada yang dalam Hidupnya tidak merasakan kesulitan dalam mencukupi kebutuhannya,ada pula yang hanya sekedar pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,tapi ada yang betul-betul kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sesungguhnya bagi yang berkecukupan atau yang sekedar pas-pasan, juga bagi yang betul-betul Kesulitan, Hakikatnya itu semua adalah Ujian dari ALLAH SWT. Ada beberapa Kunci pintu Rizki yang Allah SWT berikan diantaranya adalah:

1. TAQWA

” Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. ( AT THALAQ ; 2 – 3 )

2. SHILATURRAHIM

إِنَّ اَعْجَلَ الطَاعَةِ ثَوَابًا صِلَةُ الرَحِمِ ، حَتَّى اِنَّ أَهْلَ بَيْتٍ لَيَكُوْنُ فَجْرَةً فَتَنْمُوْ اَمْوَالُهُمْ
وَيَكْثُرُعَدَدُهُمْ إِذَا تَوَاصَلُوا
“Sungguh ketaátan yang paling cepat balasannya adalah shilaturrahim, sekalipun keluarga itu ahli keburukan, maka ( dengan shilaturrahim itu ) maka berkembanglah harta mereka dan bertambahlah banyak jumlah mereka.(HR Ibnu Hibban).

3. ISTIGHFAR 

“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. ( NUH ; 10 ).

مَنْ َاكْثَرَ اْلِإسْتِغْفارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ ُكلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“ siapa yang memperbanyak istighfar maka allah akan menjadikan setiap kesedihannya kebahagiaan, setiap kesempitannya diberi jalan keluar dan allah taburkan rizqinya dari tempat yang tak diduga duga “ ( HR. IBN MAJAH, ABU DAWUD DARI ABDULLAH IBN ABBAS)

4. NIKAH

” dan kawinkanlah orang-orang yang sediri diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan meberi kekayaan bagi mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. ( Annur ; 32 ).

5. SHODAQAH

” perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. ( Al baqarah ; 261 ).

مَامِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِْيْهِ اِلاَّ ملَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ اَحَدُهُمَا اَللّهُمَّ اَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا،
وَيَقُولُ اْلاَخَرُ اَللّهُمَّ اَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“ tidak ada pagi hari bagi seorang hamba kecuali ada 2 malaikat yang turun, salah satunya berdo’a : yaa allah berikanlah bagi orang yang berinfaq itu ganti yang tinggi. Sedang malaikat yang satu berdo’a : ya allah berikan kepada orang yang menahan hartanya itu kehancuran “ (HR. Bukhory dari Abi Hurairah ).

6. HIJRAH

” Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-nisaa ; 100 ).

7. HAJI dan UMRAH

تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ
“ lanjutkanlah hajjimu dengan berumroh sesungguhnya keduanya itu menghapuskan kemiskinan dan dosa “ ( HR. AHMAD, TIRMIDZI, nasaai, dari IBNu mas’ud ).

اَلنَّفَقَةُ فِي الْحَجِّ كَالنَفَقَةِ فِي سَبِيلِ اللهِ بِسَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ
“ harta yang dikeluarkan untuk keperluan hajji sama dengan nafkah fii sabiilillah ( diganti ) dengan 700 kali lipat “.

8.TAWAKKAL, DOA, USAHA, dan IKHTIYAR.

” dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. ( at Thalaq : 3 ).

لَوْ َانَّكُمْ كُنْتُمْ تَتَوَكَّلُوْن عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا ُتْرْزَقُ الطَيْرُ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“ jika kalian bertawakkal dengan tawakkal yang sesungguhnya, maka kalian akan diberi limpahan rizqi seperti halnya seekor burung yang pergi pagi perutnya lapar, pulang sore perutnya telah terisi “ ( HR. Ahmad, Tirmidzi, ibn Majah, Hakim dari ‘Umar ibn khatthab ).

Allah hanya memerintahkan kepada kita untuk berusaha, berusaha dan terus berusaha sebatas kemampuan kita, lalu percaya dan bertawakkal serta memasrahkan semua hasil usaha dalam ketetapan dan kehendak-Nya dengan satu keyakinan bahwa Dia,Maha Hidup, Maha Mengurus/ Mengatur, Tidak Mengantuk dan Tidak Tidur, Maha Menepati Janji-Nya dan Pasti,Allah Maha Kaya, Allah kuasa atas segalanya, jangan Pernah Ragu walau hanya sedikitpun dengan firman dan tuntunan-Nya. Selamat mengamalkan… Baarokalloohu fiykum… semoga barokah melimpah ruah menyertai langkah kita semua, Amiin Yaa Rabbal Alamiin. Semoga bermanfa’at,dan dapat mengambil Hikmahnya.



M. Syafi’i

Senin, 09 Juli 2012

Puasa Sunnah


Assalamualaykum

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Mungkin diantara kita sering berpuasa sekalipun saat berada di laur Bulan penuh berkah Ramadhan dengan menjalankan puasa sunnah
Terkadang masih ada kebimbangan tentang hukum serta dalilnya
Jadi ini sebagian penjelasan dari puasa sunnah tersebut
Semoga bermanfaat

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan untuk berpuasa pada hari-hari berikut ini:
a. Enam hari di bulan Syawwal
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.

Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian dikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” [1]

b, c. Hari ‘Arafah bagi mereka yang tidak menunaikan ibadah haji dan hari ‘Asyura (hari kesepuluh dari bulan Muharram) serta sehari sebelumnya (hari kesembilan).
Diriwayatkan dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia berkata,

سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ j عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ. وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَضِيَةَ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, beliau menjawab, ‘Ia menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.’ Beliau juga ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Ia menghapus dosa-dosa tahun lalu.’”[2]

Dari Ummu al-Fadhl bintu al-Harits Radhiyallahu anhuma bahwasanya ada beberapa orang yang ada di dekatnya pada saat di ‘Arafah sedang berselisih tentang puasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari ‘Arafah. Ada sebagian mereka berpendapat bahwa beliau berpuasa dan sebagian yang lain mengatakan beliau tidak berpuasa, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawakan segelas susu, saat itu beliau berada di atas untanya di ‘Arafah, lalu beliau meminumnya.[3]

Diriwayatkan juga dari Abu Ghathfan bin Tharif al-Muri, ia berkata, “Aku mendengar Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘Asyura dan beliau menganjurkan para Sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun yang akan datang kita akan berpuasa pada hari yang kesembilan (tasu’a) insya Allah.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Akan tetapi belum sampai tahun depan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia.’” [4]

d. Puasa pada sebagian besar hari di bulan Muharram
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَيْلِ.

“Sebaik-baik puasa setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, bulan Muharram dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” [5]

e. Puasa pada sebagian besar hari di bulan Sya’ban
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban.” [6]

f. Hari Senin dan Kamis
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa pada hari Senin dan Kamis, manakala beliau ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab: 

إِنَّ أَعْمَالَ اْلعِبَادِ تُعْرَضُ يَوْمَ الإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ.

‘Sesungguhnya amal-amal hamba dihadapkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis.’” [7]

g. Puasa tiga hari dari tiap bulan (Hijriyyah)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

صُمْ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا, وذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ.

‘Puasalah tiga hari dari tiap bulan. Sesungguhnya amal kebaikan itu ganjarannya sepuluh kali lipat, sehingga ia seperti puasa sepanjang masa.’” [8]

Dan disunnahkan untuk menjadikan tiga hari tersebut hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas. Berdasarkan riwayat dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ, إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَةَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ.

“Wahai Abu Dzarr, jika engkau ingin puasa tiga hari dari suatu bulan, maka puasalah pada hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas.” [9]

h. Puasa sehari dan berbuka sehari (puasa Nabi Dawud Alaihissallam)
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Nabi Dawud, beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.” [10]

i. Hari Kesembilan di bulan Dzul Hijjah
Diriwayatkan dari Hunaidah bin Khalid, dari isterinya, dari sebagian isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesembilan Dzul Hijjah, hari ‘Asyura, tiga hari dari setiap bulan, hari Senin pertama dari suatu bulan dan hari Kamis.” [11]

14. Hari-Hari yang Dilarang untuk Berpuasa Padanya
a. Dua Hari Raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha)
Dari Abu ‘Ubaid, budak yang dimerdekakan Ibnu Azhar, ia berkata, “Aku merayakan hari ‘Id bersama ‘Umar bin al-Kaththab Radhiyallahu anhu, kemudian dia (‘Umar) berkata, ‘Ini adalah dua hari yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk berpuasa padanya, hari di mana kalian berbuka puasa dan hari yang lainnya, hari di mana kalian memakan hewan kurban kalian.” [12]

b. Hari Tasyriq *
Dari Abu Murrah, budak yang dimerdekakan Ummu Hani’, bahwasanya dia bersama ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma datang menemui ‘Amr bin al-‘Ash, lalu dia menghidangkan makanan untuk mereka berdua, seraya berkata, “Makanlah!” Dia menjawab, “Aku sedang puasa.” ‘Amr berkata, “Makanlah, sesungguhnya ini adalah hari yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berbuka dan melarang kami berpuasa.” Malik berkata, “Hari itu adalah hari Tasyriq.” [13]

Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhum, mereka berdua mengatakan, “Tidak diizinkan berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali orang yang tidak mendapatkan hewan kurban (di Mina saat ibadah haji).” [14]

c. Puasa hari Jum’at saja
Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ تَصُوْمَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ.

‘Janganlah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali ia berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya.’” [15]

d. Puasa hari Sabtu saja
Berdasarkan riwayat dari ‘Abdullah bin Busr as-Sulami Radhiyallahu anhu, dari saudarinya, ash-Shamma Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alam telah bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ, وَ إِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلاَّ لِحَاءَ عِنَبٍ أَوْ عُوْدَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهَا.

“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali yang telah diwajibkan atas kalian. Jika salah seorang di antara kalian tidak mendapatkan (makanan untuk berbuka) kecuali kulit anggur atau ranting pohon, maka hendaklah ia mengunyahnya.” [16]

e. Pertengahan kedua dari bulan Sya’ban bagi mereka yang tidak mempunyai kebiasaan berpuasa
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُوْمُوْا.

“Jika telah sampai pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.” [17]

Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ.

“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali jika orang itu tengah mengerjakan suatu puasa yang biasa dilakukan, maka hendaklah ia puasa pada hari itu.” [18]

f. Puasa pada hari yang meragukan
Dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang meragukan berarti dia telah mendurhakai Abul Qasim (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [19]

g. Puasa selamanya, walaupun dia berbuka pada hari-hari yang terlarang untuk berpuasa.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو! إِنَّكَ لَتَصُوْمُ الدَّهْرَ وَتَقُوْمُ اللَّيْلَ, وَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمْتَ لَهُ الْعَيْنَ وَنَهَكْتَ, لاَ صَامَ مَنْ صَامَ اْلأَبَدَ.

“Wahai ‘Abdullah bin ‘Amr, sesungguhnya engkau selalu berpuasa sepanjang hari (selamanya) dan bangun malam. Jika engkau terus melakukannya, maka engkau telah menjadikan matamu cekung serta menyiksa dirimu. Tidak ada puasa bagi orang yang puasa selamanya.” [20]

Juga diriwayatkan dari Abu Qatadah, bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, “Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana cara engkau berpuasa?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah mendengar perkataan tersebut dan manakala ‘Umar melihat hal itu, ia berkata, “Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami. Kami berlindung kepada Allah dari murka-Nya dan murka Rasul-Nya.” Dia terus mengulang perkataan itu sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti marah, kemudian ia bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan orang yang berpuasa selamanya?” Beliau bersabda:

لاَ صَامَ وَلاَ أَفْطَرَ.

“Dia tidak berpuasa dan tidak berbuka.” [21]

15. Larangan Berpuasa Bagi Seorang Isteri Jika Suaminya Ada (di Rumah) Kecuali dengan Izinnya
Berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ تَصُمِ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.

“Tidak dibolehkan seorang isteri berpuasa di saat suaminya di rumah, kecuali dengan izinnya.” [22]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Sabtu, 07 Juli 2012

Sahur


Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

[1]. Hikmahnya

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” [Al-Baqarah : 183]

Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima’) setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka [1] karena dihapus hukum tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam bersabda.

“Artinya : Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur” [Hadits Riwayat Muslim 1096]

[2]. Keutamaannya

[a] Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama’ah, Ats-Tsarid dan makan Sahur” [2]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran” [3]

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Aku masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan’” [Hadits Riwayat Nasa’i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya SHAHIH]

Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa. 

Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda ‘Radhiyallahu ‘anhuma.

“Artinya : Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur” [4]

[b]. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo’a kepada Allah agar mema’afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur” [Telah lewat Takhrijnya]

Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma” [5]

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air” [Telah lewat Takhrijnya]

[3]. Mengakhirkan Sahur

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu.

“Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an”[6]

Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima’ selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya’nuhu mema’afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.

[4]. Hukumnya

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya - dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu” [7]
Dan beliau bersabda.

“Artinya : Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah” [Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas]

Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda.

“Artinya : Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur” [Telah lewat Takhrijnya]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda.

“Artinya : Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur” [8]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air” [9]

Saya katakan : Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.

Perintahnya.
Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab

Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas.

Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu ‘alam.


[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]